Selasa, 04 Agustus 2009

Rock Ala Indonesia

KERONCONG diam-diam pernah disusupkan dalam musik rock ’n’ roll pada akhir 1950-an. Sebutannya Indorock untuk menamai musik yang kebanyakan dimainkan oleh warga Belanda yang lahir di Indonesia itu. Mereka datang ke Indonesia.

CRAZY Rockers, "eksponen Indorock" yang dibentuk pada 1961 di Den Haag, Belanda, Jumat (23/4) malam lalu tampil di NuArt Sculpture Park, Bandung. Mereka membawakan beberapa contoh lagu Indorock seperti Carioca yang pernah membuat mereka dikenal di Belanda dan Jerman pada awal 1960-an.

Band ini didukung pemain yang lahir di Indonesia dan Suriname. Mereka adalah Eddy Chatelin, lelaki kelahiran Palembang 1943, yang memainkan gitar melodi. Harry Berg (64), kelahiran Makassar, juga memainkan gitar melodi. Woody Burnings (65), kelahiran Suriname, berposisi sebagai penyanyi utama merangkap gitar rhythm. Mereka didukung Pim Vereen (63) pada bas, Boy Brostowksi (56) pada drum.

Usia para personel Crazy Rockers kini telah berkepala enam, tapi semangat bermusik mereka tak beda dengan rock ’n’ roll yang lincah yang mereka mainkan sejak usia belasan tahun. Di pentas mereka tampil penuh energi, termasuk gaya mengangkat gitar tinggi- tinggi yang lazim terlihat di pentas musik rock kaum muda.

Eddy, Harry, dan kawan-kawan masih berumur belasan tahun ketika gelombang rock ’n’ roll dari Amerika melanda daratan Eropa termasuk Belanda menjelang akhir era 1950-an. Gelombang itu digerakkan oleh Chuck Berry, Bill Haley, sampai Elvis Presley. Seperti halnya yang terjadi di berbagai negara, di Belanda pun bermunculan band rock ’n’ roll. Mereka mengambil model musik dari Chuck, Bill Haley, Elvis, atau juga Everly Brothers.

Muncullah kemudian antara lain Ruud de Wolf dan Riem de Wolf, dua bersaudara kelahiran Depok, Jawa Barat, yang membentuk The Blue Diamonds. Duet yang memopulerkan lagu seperti Ramona sampai Sukiyaki itu mengacu pada duet Everly Brothers.

Eddy Chatelin dan kawan- kawan mencoba tampil beda. Tetap berbasis pada rock ’n’ roll, mereka mencoba memainkan rock ’n’ roll dengan pengaruh elemen musik keroncong. Mereka menggunakan formasi tanpa piano, namun memilih menggunakan tiga gitar, ditambah bas dan drum.

"Kami menggunakan tiga gitar dengan pembagian, satu gitar rhythm dan dua gitar melodi. Salah satu gitar itu bisa menjadi alternatif untuk gitar atau bas. Itu yang mungkin menjadi penghubung kecil antara rock ’n’ roll dan keroncong," kata Eddy Chatelin yang masih cukup lancar berbahasa Indonesia.

Kedua gitar melodi itu di-stem dengan cara berbeda. Salah satu gitar menggunakan cara standar. Namun, gitar yang lain dibuat lebih rendah hingga suara yang keluar terdengar lebih berat dan kasar.

"Suara gitar yang lebih rendah itu memberi kesan bunyi yang berbeda," kata Eddy menjelaskan.

Eddy mencontohkan penggunaan selo yang dipetik dan double bass alias bas betot pada musik keroncong. Selo dalam hal ini berfungsi sebagai bas yang melodik. Begitu juga dalam format Indorock, salah satu gitar menduduki fungsi seperti yang dipegang selo sebagai instrumen alternatif.

"Saya sendiri belum pernah bermain keroncong, tapi pernah mendengar keroncong dari ayah saya," kata Harry Berg yang meninggalkan Indonesia dan tinggal di Belanda saat berumur sepuluh tahun.

Ternyata, formula yang ditawarkan Crazy Rockers itu diterima publik. Pada kurun 1961-1966 mereka populer di Belanda dan Jerman sebagai Indorock. Julukan itu bukan semata mengacu pada personelnya yang berasal dari Indonesia, tapi juga karena karakter suara musik mereka yang agak berbeda dengan rock ’n’ roll.

Tak kurang ada sekitar sepuluh band yang bisa disebut sebagai Indorock sempat populer bermunculan, seperti Tielman Brothers, The Javalins, atau juga The Black Dynamites. Di antara mereka ada yang meramu rock ’n’ roll dengan musik hawaiian atau country. Belakangan muncul sebutan Nederrock untuk menyebut rock ’n’ roll yang dimainkan oleh orang Belanda.

Pamor Indorock berangsur surut seiring dengan munculnya gelombang rock dari Liverpool, Inggris, yaitu Beatles. John Lennon dan kawan-kawan dari Beatles adalah sama-sama penganut rock ’n’ roll seperti halnya Crazy Rockers atau juga Koes Bersaudara di Indonesia yang fasih memainkan rock ’n’ roll lewat lagu seperti Dara Manisku yang mengingatkan pada lagu Lucille-nya Everly Brothers. Mereka muncul dalam waktu yang hampir bersamaan, yaitu tahun 1962, atau sekitar lima tahun setelah rock ’n’ roll berkobar di Amerika Serikat.

"Ketika Beatles semakin populer, anak muda Belanda mulai berpaling kepada Beatles atau Rolling Stones," kenang Harry Berg yang, meski kalah pamor, tetap bermain rock ’n’ roll.

Harry kemudian juga mulai menggemari gitaris-gitaris yang bermunculan di kemudian hari, mulai Jimi Hendrix sampai Lee Ritenour. Kini diakuinya tidak ada lagi Indorock seperti pernah populer di era 1960-an. Kaum muda di Belanda saat ini, tutur Harry, juga tidak lagi mengenal Indorock.

Pada awal tahun 1980-an sempat muncul revivalisme Indorock, namun hanya sebatas pada hajatan semacam nostalgia dan tidak sampai pada taraf menghidupkan kembali genre unik yang disebut Indorock itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar